SELAMAT DATANG DI BLOG RESMI ADI WAHYU WICAKSONO,BACA,PAHAMI,DAN TEMUKAN MANFAATNYA..

Menelusuri Eksotisme Kampung Adat Bena

Penelusuran salah satu situs peradaban megalitikum di Nusa Tenggara Timur

Wisata Sehari di Pulau Lombok

Menyelami pesona dan keindahan alam yang terpendam di"Pulau Seribu Masjid"

Menanti Senja di Tegalwangi

Menjadi saksi tenggelamnya sang mentari di salah satu tempat terbaik di Pulau Dewata.

Petualangan di Beji Guwang

Berpetualang memang selalu menjadi tantangan, nikmati serunya penelusuran di salah satu objek wisata yang penuh tantangan.

Menembus Dinginnya Kota Bajawa

Kota berhawa sejuk di tengah Pulau Flores ini menyimpan banyak pesona,banyak cerita dan pengalaman menarik yang didapat selama singgah 5 hari di kota ini.

Kamis, 28 September 2017

Sabang, Km 0 Indonesia


Awal September 2017 menjadi awal bulan yang paling menyenangkan..ya kali ini saya mendapat kesempatan untuk menyambangi provinsi di ujung barat Indonesia yaitu Nangroe Aceh Darusallam. Berkunjung ke Aceh nuansa Islam sangat terasa disi. Banyak masjid besar berdiri, terutama di sepanjang jalan dari Bandara Sultan Iskandar Muda sampai ke Kota Banda Aceh, Ibukota Provinsi Aceh.

Catatan saya kali ini tidak akan membahas banyak tentang Banda Aceh, Kopi, ataupun tsunami. Perjalanan yang akan saya ceritakan saat ini adalah pengalaman perjalanan saya mengunjungi Kota Sabang, titik 0 kilometer Indonesia di sisi barat Nusantara. Meskipun hanya menikmati Sabang dalam satu hari, namun banyak hal menarik yang saya dapatkan selama perjalanan.

Saat itu saya dan kawan-kawan berangkat menuju Sabang dari Pelabuhan Ulee Lhuee, sampai disana kami langsung menggantre di loket tiket kapal cepat yang akan membawa rombongan ke Sabang. Pelabuhan Ulee Lhuee marupakan pelabuhan penyeberangan yang ada di Banda Aceh, kalao saya bilang sih pelabuhan ini cukup modern, pelayanannya juga termasuk bagus untuk ukuran penyeberangan ke pulau kecil. Sebagai info tiket kapal cepat yang kami beli seharga Rp.80.000
per orang untuk kelas Ekonomi, dan untuk kelas VIP tiket dihargai Rp.100.000.

Tepat jam 10.00 WIB kami masuk ke kapal dan setelah menunggu sekitar 30 menit mulailah kapal berberak  menuju Pelabuhan Sabang.

Sabtu, 20 Mei 2017

Berburu Tenun Ikat di Ende


Masih di Pulau Flores, tempat dimana gugusan cincin api di sisi timur yang melingkari nusantara berada menyimpan pesona sejarah dan budaya yang tak akan pernah habis untuk dinikmati. Menyambung dari tulisan saya tentang indahnya alam Nagekeo, kali ini saya akan berbagi pengalaman saat singah sehari di Ende. Kenapa saya harus singgah dulu di Ende..? Jawabannya jelas pastinya..karena di Nagekeo tidak ada bandara. Ya..berhubung waktu kepulangan dari Mbay, Nagekeo adalah siang hari dan pesawat yang menuju ke Denpasar baru akan berangkat esok harinya, jadi saya harus bermalam di Ende.

2 jam perjalanan dari Mbay ke Ende sudah dilewati. Kami berangkat jam 11 siang dari Mbay dan sampai di Ende sekitar jam 1 siang. Sampai di  Ende, kebetulan Kami melewati Bangunan Bersejarah, Rumah Bung Karno semasa pengasingan di Ende. Hari itu memang serba kebetulan, Rumah Pengasingan Bung Karno sedang dibuka untuk umum. Untuk kawan-kawan ketahui tempat wisata ini tidak dibuka setiap hari loh..hanya di hari tertentu saja tempat wisata ini dibuka untuk umum. Masuk ke dalam Rumah Pengasingan Bung Karno tidak dipungut biaya, kita hanya disarankan untuk menyisihkan sumbangan sukarela untuk perawatan tempat wisata sejarah ini. Di rumah pengasingan inilah, Bung Karno bersama Istrinya Inggid Ganarsih tinggal selama masa pengasingan di Ende. Beberapa benda bersejarah yang masih terawat bisa kita saksikan, seperti ranjang tempat tidur Bung Karno, meja dan kursi kerja Bung Karno, peralatan makan dan memasak, biola, serta beberapa foto dan lukisan yang masih tersimpan dengan baik. 

Tak lama kami mengunjungi rumah pengasingan Bung Karno, karena cuaca Ende saat itu sangat panas menyengat. Puas menjelajah rumah Bung Karno, Kami beristirahat sejenak di salah satu rumah makan di Ende. Jauh-jauh ke Ende yang kami temukan sepanjang jalan adalah rumah makan khas Minang, jadi yang kami putuskan untuk makan di situ saja daripada menahan lapar terlalu lama.

Nah..sekarang saat yang ditunggu..inti cerita dari judul tulisan saya akan dimulai dari sini. Berburu kain tenun ikat khas Ende yang melegenda, itulah tujuan Kami saat memanfaatkan waktu singgah di Ende. Meskipun dari segi keramaian dan luas kotanya Ende merupakan kota terbesar kedua di NTT, tapi masih kalah ramai dan jauh lebih kecil kotanya dibandingkan dengan Kupang,Ibukota Provinsi NTT. Jadi hanya butuh waktu 10 menit saja untuk sampai ke pusat penjualan kain tenun khas Ende dari rumah makan dimana Kami singgah saat itu.


Saat itu waktu menunjukan pukul 15.00 WITA, cuaca di Ende masih sangat panas, maklum lah kota ini berada persis di pinggir pantai jadi panasnya pun tidak karuan. Dari hotel kami minta diantar oleh sopir untuk berburu kain tenun ikat di Pasar Lama, yang katanya menjadi buah tangan khas Ende. Sampai di pasar susana cukup sepi, sore itu banyak kios di pasar sudah tutup, namun disepanjang sisi jalan masih ada pedagang tenun ikat yang membuka lapakya. Sore itu hanya ada beberapa orang saja yang melihat-lihat sembari menawar harga kain yang akan mereka beli. Area dimana pedagang kain berjualan pun tidak terlalu luas, hanya ada  beberapa kios yang membuka lapaknya, tapi jangan ditanya berapa banyak koleksinya..sangat memanjakan mata dan bikin Kami bingung mau beli kain model yang mana.

Hampir beberapa kios saya kunjungi untuk melihat-lihat sambil bertanya tentang jenis kain dan makna pola ikatan tenun yang menghias kain-kain itu. Ternyata meskipun dinamakan pusat tenun Ende, namun yang dijual disana bukan hanya tenun khas Ende, tai juga ada tenun dari daerah lain di NTT dijual disitu. Berbagai model kain teun se antero NTT bisa kita dapatkan seperti tenun Nagekeo dengan corak khas hitam dan kuning, 

Minggu, 26 Maret 2017

Alor, Serpihan Surga Yang Jatuh Ke Bumi


Alor, pulau di ujung timur gugusan kepulauan Sunda Kecil menawarkan berbagai keotentikan indahnya panorama alam dan kekhasan budaya yang masih terjaga dan bisa kita nikmati hingga saat ini.  Keindahan bentang alam yang ada di pulau ini telah diakui oleh berbagai kalangan yang terkesan dengan eksotisme pulau Alor, bahkan saking indahnya, pulau ini disebut juga sebagai "serpihan surga yang jatuh ke bumi.

Kali ini saya akan berbagi pengalaman ketika di bulan Februari 2017 menyempatkan diri berkunjung ke pulau Alor, Nusa Tenggara Timur. Pulau yang dijuluki "Pulau Seribu Moko" ini bukan hanya dikenal karena keindahan alamnya, terutama diving dan wisata bahari, tapi ada satu hal juga yang sangat menarik yang bisa kita temui di Alor. Sebuah komunitas adat yang masih hidup dengan tradisi warisan leluhur bisa kita temui di Alor, masyarakat adat tersebut adalah masyarakat adat Takpala, yang tinggal di Kampung Adat Takpala, yang berada di kecamatan Alor Tengah Selatan.

Berjarak kurang lebih satu jam perjalanan dari Kalabahi, Ibukota Kabupaten Alor Kampung Adat Takpala menawarkan eksotisme budaya otentik yang menjadi monumen hidup peradaban masa lalu masyarakat Alor. Dari Kalabahi menuju Takpala, kita akan melewati indahnya pesisir pantai di sepanjang perjalanan. Sembari menuju ke Takpala, kusempatkan sejenak ke Pantai Benlelang untuk melepaskan pandangan ke lautan luas.

Sabtu, 25 Maret 2017

Mbay, Kota Bersahaja Yang Mempesona

Hamparan Perbukitan, Mbay, Nagekeo

Mbay, kota bersahaja di antara belahan bukit nan hijau di sisi tengah Pulau Flores. Mungkin banyak orang masih sangat asing dengan nama kota ini. Kota kecil yang merupakan ibukota Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur ini menyimpan  keindahan alam yang sangat khas. Hamparan hijaunya bukit nan menjulang di sisi barat dan timur kota ini menjadi pertanda kemurahan Tuhan yang diberikan kepada masyarakat Nageko.

Perlu 2 jam perjalanan dari Kota Ende untuk mencapai Mbay. Perjalanan dari Ende menuju Mbay mungkin menjadi perjalanan darat paling menarik yang pernah saya alami. Bermula dari Bandar Udara H.Hasan Aroeboesman, Ende, salah satu bandara dengan pendaratan cukup ekstrem yang di Indonesia, kami mendarat setelah menjalani penerbangan 1 jam 20 menit dari Bandara  I Gusti Ngurah Rai Denpasar. Tak perlu waktu lama untuk mengambil bagasi karena memang penumpang yang turun di Bandara ini tidak banyak jumlahnya. 

Pesisir pantai, Jl.Trans Flores Ende-Negekeo
Di depan pintu kedatangan Bandara, rekan dari Nagekeo sudah siap untuk mengantarakan Saya dan kawan-kawan ke Mbay, ibukota Nagekeo. Dalam perjalanan menuju Mbay mobil yang kami tumpangi melaju di pesisir pantai selatan di Kabupaten Ende. Pemandangan sekeliling sungguh indah, hamparan pantai yang terhampar luas dan lepas disisi selatan dan hamparan perbukitan nan hijau di sisi utara menemani perjalanan rombongan Kami hingga ujung jalan perbatasan Ende-Nagekeo. Perjalanan 2 jam cukup melelahkan dan mendebarkan. Jalanan naik turun dengan kelokan yang curam menjadi tantangan bagi pengendara mobil yang melintasi jalan trans flores ini. Untungnya para sopir di sini sudah sangat berpengalaman mengemudikan mobil di medan yang ekstrem.


Sampai di Mbay, aku sangat takjub dengan hamparan perbukitan nan hijau yang mengelilingi kota ini. Salah satu titik pemandangan terindah ada di sepanjang bukit yang terletak membelakangi Kantor Bupati Nagekeo. Bukit itu kelihatanya tidak terlalu tinggi untuk didaki, tapi keinginan ku untuk mendaki bukit tersebut belum kesampaian, ya..karena aku datang ke sini untuk melaksanakan tugas dari instansi dimana aku berkarir, bukan menghabiskan waktu untuk berwisata.



Sup Domba khas Nagekeo
Penginapan "Santalum" paling representatif
Selama empat hari "berdiam"sementara di Mbay, banyak hal unik dan menarik aku dapatkan disini. Empat hari berada di Mbay waktu istirahat malam habiskan dengan menikmati kesunyian di penginapan yang sederhana, tapi itu merupakan tempat menginap paling representatif di kota ini. Aku sempatkan pula untuk menikmati gurihnya sate dan sup daging domba khas Nageko. Menurut Bapak yang mengajakku makan, domba di Nagekeo sangat berbeda dari yang lain. Katanya daging domba Nagekeo sangat khas dan lembut, karena domba-domba disana masih mengkonsumsi rumput alami langsung dari hamparan padang rumput. Dan setelah aku cicipi memang sangat mantap rasanya, dan baru kali itu saya makan daging kambing dengan dimasak sup khas Nagekeo, yang bagiku terasa sedikit asam dan asin.


Sabtu, 18 Februari 2017

Menelusuri Eksotisme Kampung Adat Bena





Pulau Flores menyimpan banyak keindahan yang tak habis untuk dinikmati sekaligus dikagumi oleh siapapun yang berkunjung kesana. Pulau terpanjang di gugusan kepulauan Sunda Kecil ini memiliki berbagai atraksi wisata yang menjadi nilai lebih sebagai daya tarik utama mendatangkan wisatawan ke “Pulau Bunga” ini. Sebagian besar wisatawan sudah sangat akrab dengan atraksi wisata yang ditawarkan oleh Pulau Flores, mulai dari hamparan pantai dan gugusan bukit nan indah di Labuan Bajo yang menawarkan salah satu wisata perairan terbaik di dunia, hingga kemegahan danau tiga warna di Gunung Kelimutu yang menyimpan rahasia tentang fenomena alam yang menakjubkan. Namun Flores tidak hanya memiliki keidahan alam untuk ditawarkan, pulau ini juga memiliki kekhasan tradisi dan budaya yang bisa kita lihat dengan masih terjaganya sejumlah komunitas adat yang tersebar di beberapa wilayah di Pulau Flores.
Kampung adat Bena menjadi “monumen hidup” yang bisa kita temui sebagai bukti masih terjaganya kekhasan tradisi dan budaya yang sudah ada sejak jaman leluhur mereka. Berjarak kurang lebih 18 Km di sisi timur kota Bajawa, Kabupaten Ngada, kita bisa melihat bagaimana masyarakat adat di Kampung adat Bena hidup dengan kesederhanaan dan budaya yang orisinal, beserta warisan peradaban megalitikum yang kokoh berdiri hingga saat ini. 

Jejak Masyarakat Penjaga Warisan Sang Leluhur

Masyarakat adat di Kampung adat Bena merupakan komunitas yang sudah terbentuk sejak 1.200 tahun yang lalu. Masyarakat adat di Kampung Bena terdiri dari 9 suku yang menempati 45 unit rumah yang bangunannya masih alami. Kesembilan suku ini tinggal di rumah-rumah dengan lokasi tingkatan yang berbeda, jadi di Kampung adat Bena akan kita temui 9 tingkatan yang diatasnya terdiri dari rumah-rumah adat, dengan rumah adat Suku Bena berada di tengah-tengah dan di tingkatan paling tinggi, karena Suku Bena dianggap sebagai pendiri kampung segaligus suku tertua yang mendiami kawasan tersebut. Hal itu pula yang mendasari kampung adat ini dinamakan Kampung adat Bena.

Sebagian besar masyarakat di Kampung adat Bena hidup dan bekerja secara tradisional. Para penduduk laki-laki sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai penggarap ladang dan kebun yang ada di sekeliling wilayah kampung adat. Sedangkan para wanita selain ada yang bekerja sebagai penggarap ladang, ada juga yang mengisi waktu mereka dengan membuat kain tenun tradisional. Yang cukup menarik dari kampung ini, meskipun masih diterapkan kehidupan berdasarkan nilai-nilai adat, penduduk laki-laki diperbolehkan untuk keluar dari kampung dan mencari pekerjaan di tempat lain. Maka dari itu penduduk laki-laki yang tinggal di kampung Bena lebih sedikit dari penduduk wanita. Selain itu masyarakat adat di Kampung adat Bena memiliki budaya matrilineal, yang menempatkan garis keturunan dan waris berdasarkan darah sang Ibu. Jadi bisa dibilang wajar jika banyak penduduk laki-laki di Kampung adat Bena mencari penghidupan di luar, karena secara adat, hak waris dari leluhur hanya akan jatuh ke tangan perempuan dari Kampung adat Bena.

Keunikan dan Daya Tarik Kampung Adat Bena


Para wisatawan yang akan berkunjung ke Kampung adat Bena tidaklah sulit. Jika kita berangkat dari Bajawa menggunakan kendaraan bermotor waktu tempuh menuju Kampung adat Bena sekitar 30 menit. Sepanjang perjalanan dari Bajawa ke Bena, kita akan disuguhkan pemandangan hamparan perkebunan kopi yang memang menjadi komoditas paling terkenal yang dihasilkan di Kabupaten Ngada. Selain itu, perjalanan juga akan mengitari lembah dan gugusan perbukitan sepanjang kaki gunung Inerie, yang akan memanjakan pandangan kita sebelum masuk ke gerbang Kampung adat Bena. Jalan yang sempit dan berkelok menuju tempat ini menjadi tantangan jika kita berkendara sendiri, sehingga setiap pengunjung yang mengemudikan kendaraan diharapkan untuk tetap menjaga kewaspadaan dan kehati-hatian selama berkendara.

Sampai di gerbang Kampung adat Bena tak perlu waktu lama untuk menuju lokasi perkampungan, karena letak pemukimannya sangat dekat dengan jalan raya dan lokasi parkir kendaraan. Setiap wisatawan yang hendak masuk ke Kampung adat Bena dikenakan biaya sebesar Rp.20.000. Hal yang cukup unik yaitu semua wisatawan yang masuk akan diberikan semacam syal tradisional yang terbuat dari kain tenun khas Bena, namun syal ini tidak bisa kita bawa pulang, karena harus dikembalikan ketika kita meninggalkan lokasi perkampungan.
 
Memasuki sisi depan Kampung adat Bena kita akan menemukan bangunan berupa susunan batu berundak yang cukup tinggi. Di atas bangunan tersebut merupakan tanah lapang yang digunakan sebagai tempat dilaksanakannya upacara adat masyarakat Kampung Bena. Di beberapa sisi lapangan bisa kita temukan bangunan-bangunan kecil yang menyerupai bale-bale yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan bahan hasil pertanian, selain itu di tengah-tengah lapangan ini terdapat bangunan tiang yang cukup tinggi dengan beratapkan rumbia yang berfungsi sebagai tempat mengikat hewan yang akan dijadikan persembahan dalam upacara dan ritual adat. Beberapa bangunan batu  besar yang sudah ada sejak era megalitikum juga menjadi ciri khas kampung ini. Bangunan batu besar yang berdiri menjulang ada di sisi timur lapangan, oleh leluhur masyarakat Bena yang menganut Animisme batu besar ini digunakan sebagai alat pemujaan kepada arwah nenek moyang sesuai kepercayaan mereka.

Sejenak pandangan kita arahkan ke sekeliling kanan dan kiri kampung, kita bisa melihat rumah-rumah tradisional yang berjajar tersusun rapi. Lokasi rumah disusun secara bertingkat mengikuti topografi tanah yang ada di sana, di depan rumah ada jalan setapak yang terbuat dari batu alam yang menambah nuansa alami perkampungan tradisional ini. Rumah tradisional  masyarakat Bena berpentuk rumah  panggung dengan tiang penyangga yang tidak terlalu tinggi, terbuat dari kayu dengan beratapkan rumbia. Beberapa orang yang ditemui di  Kampung adat Bena masih mengenakan kain tenun tradisional sebagai pakaian mereka. Di beberapa rumah bisa kita lihat Ibu-ibu yang sedang membuat kain tenun tradisional Bena, hasil tenunan mereka dipajang di depan rumah dan bisa kita beli dengan harga berkisar Rp.150.000-Rp.350.000, tergantung besarnya ukuran dan jenis serta motif kainnya.

Beranjak ke bagian atas kampung adat Bena, tepat di ujung sisi selatan lokasi perkampungan sekaligus titik tertinggi di lokasi ini terdapat bukit doa sebagai sarana ibadah masyarakat Bena yang secara keseluruha menganut ajaran agama Katolik. Dari lokasi ini jika cuaca cerah kita bisa melihat indahnya hamparan perbukitan di sepanjang lembah gunung Inerie, namun bagi wisatawan yang akan berfoto ria di lokasi ini harus berhati-hati, karena di lokasi ini tidak  terdapat pagar pembatas antara ujung bukit dengan jurang yang ada di bawahnya. Bagi wisatawan yang datang ke Bena, bersantai di ujung Kampung adat Bena ini  biasanya dijadikan destinasi terakhir, sembari menikmati sejuknya udara dan eksotisme pemandangan Kampung adat Bena dari ketinggian.

Sebagai catatan, Kampung adat Bena merupakan destinasi yang paling terkenal di Kabupaten Ngada. Menurut salah satu petugas wisata di sini waktu puncak kunjungan wisatawan ke Kampung Bena ada di sekitar bulan Juli-September, dimana cuaca sedang bersahabat sehingga lebih maksimal untuk menikmati keindahan tanah Flores yang mempesona. Bagi Anda yang akan menyempatkan untuk datang ke Kampung adat Bena, akan lebih beruntung jika Anda datang di waktu pagi dan siang hari, karena pada waktu itulah jika cuaca cerah pemandangan lepas perbukitan dan lembah di sisi tenggara Kampung adat Bena bisa dinikmati dengan jelas. Hal lain yang harus dipastikan yaitu Anda harus menggunakan pakaian yang cukup tebal guna menahan udara dingin disana. Membawa makanan sendiri juga disarankan, karena di sekitar kampung adat jarang kita temui penjual makanan, meskipun di lokasi Kampung adat Bena juga ada warung kecil yang menjajakan makanan ringan. 

Berwisata bukan sekedar menikmati keindahan destinasi yang kita kunjungi. Lebih dari itu,  menelusuri eksotisme Kampung adat Bena sekaligus menyelami kehidupan tradisional masyarakat setempat menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Banyak hal yang dapat kita pelajari disini, terutama kearifan masyarakat adat Bena dalam menjaga dan melestarikan warisan leluhur mereka. Tradisi dan budaya komunitas adat seperti yang bisa kita lihat di masyarakat adat Bena merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. Bagi Anda yang memiliki keinginan untuk melihat contoh kehidupan otentik masyarakat adat yang ada di negeri kita, Kampung adat Bena menjadi destinasi pilihan untuk dikunjungi.


Senin, 09 Januari 2017

Menembus Dinginnya Kota Bajawa


Akhir November 2016 sebuah kejutan menghampiriku. Kali ini aku ditugaskan untuk berkunjung ke salah satu kota di Pulau Flores Nusa Tenggara Timur yaitu Bajawa. Kota Bajawa, sebuah kota kecil berhawa sejuk yang terletak di antara dua bukit di tengah-tengah Pulau Flores menjadi tujuan "penugasan" saya kali ini. Saya berangkat dari Denpasar melalui penerbangan tujuan Labuan Bajo, dan dari Labuan Bajo transit sejenak (sekitar 1 jam) untuk melanjutkan penerbangan menuju Bandara Soa di Bajawa.

Hanya butuh waktu 40 menit untuk terbang dari Labuan Bajo ke Bajawa,  beruntung kondisi cuaca saat itu cerah berawan sehingga penerbangan bisa tepat waktu tanpa kendala. Perlu kawan-kawan ketahui penerbangan menuju beberapa wilayah di NTT seringkali terhambat masalah cuaca, apalagi memasuki bulan November-Desember biasanya kondisi cuaca tidak menentu dan seringkali mengorbankan jadwal penerbangan.
Sampai di Bandara Soa, kulihat sekeliling bandara sangat sepi, maklum saja bandara ini merupakan bandara perintis dan maskapai penerbangan  yang masuk ke Bandara ini sangat terbatas. Setelah masuk ke ruang kedatangan kami sudah disambut oleh kawan-kawan dari Bajawa yang siap mengantarkan Kami ke hotel tempat kami menginap. Langsung saja setelah semua bagasi kami ambil dan angkut ke mobil, Kami siap bergegas menuju hotel untuk beristirahat.


Selama perjalanan dari Soa menuju Bajawa, sekeliling jalan masih nampak asri hamparan pepohonan dan perkebunan kopi. Perjalanan bisa kami katakan cukup menantang karena mobil yang kami tumpangi harus melewati jalanan yang sempit berkelok, bahkan jika harus perpapasan dengan mobil besar atau truk salah satu kendaraan harus menepi dulu untuk memberikan kesempatan kepada salah satunya untuk lewat. Ada hal yang menarik dalam perjalanan, terlihat bukit hijau yang menjulang dengan pepohona perdu di atasnya. Tampak dari kejauhan begitu asri, namun ketika mobil kami melintas semakin dekat dengan bukit terlihat separuh bagian dari bukit itu merupakan hamparan pasir yang sudah dikeruk untuk pertambangan. Usut punya usut setelah mendapat penjelasan dari kawan yang mendampingi kami di Bajawa, bukit itu memang di dalamnya berisi pasir, dan lokasinya sudah dikontrakan ke perusahaan swasta oleh pemerintah untuk dikelola sebagai bahan tambang galian.

Satu jam perjalanan telah kami lalui dari Bandara Soa ke Bajawa. Waktu setempat menunjukan pukul 13.30 WITA ketika kami sampai di Bajawa, di siang hari yang sangat cerah udara dingin sudah terasa. Saat itu sekeliling kota Bajawa sangat sepi, maklum saja karena Kami datang bertepatan dengan hari Minggu, hari dimana umat Katholik yang menjadi mayoritas di Bajawa beribadah dan menghabiskan waktu di rumah.

Selama lima hari di Bajawa Kami menginap di Hotel Korina, hotel yang dibilang  representatif di Bajawa. Bangunannya sederhana, lebih mirip rumah biasa daripada hotel pada umumnya, dan letaknya  berada di pusat pariwisata kota Bajawa. Di sekeliling hotel ini juga ada beberapa hotel, restoran dan Pusat Informasi wisata (di sekitar hotel ada 3 pusat informasi wisata ) Aku cukup tertegun ketika di kota sekecil ini beberapa restoran menawarkan menu dengan bahasa Inggris dan harga yang cukup mahal bagi wisatawan lokal. Ternyata setelah saya telusuri wisatawan yang singgah di Bajawa memang kebanyakan wisatawan asing dari Eropa, bahkan ada satu restoran, tepat di depan Hotel Korina yang dimiliki oleh orang Eropa.

Suhu dan cuaca saat saya datang ke Bajawa di akhir November 2016 cukup bersahabat. Anggapan sebagian besar orang kalau Bajawa memiliki suhu yang sangat dingin tidak begitu terbukti saat itu, karena memang di Bulan November bukan puncak dari suhu dingin di Bajawa. Suhu dingin di Bajawa akan mencapai puncaknya pada kisaran Bulan Juli-September, di bulan itulah justru menjadi waktu yang paling ramai di Bajawa karena di bulan tersebut jumlah wisatawan yang datang ke Bajawa mencapai puncaknya.

Bicara makanan khas, ada yang cukup menarik ketika saya pertama kali makan makanan khas Bajawa. Sambal dabu-dabu, makanan yang membuat saya rindu akan kota ini, bentuknya sederhana terdiri dari campuran tomat dan irisan cabai rawit, rasanya ..hmmm.. jangan ditanya lagi, pedasnya bukan main, tapi itulah yang membuat saya ketagihan dengan sambal ini. Satu lagi sajian khas yang paling mendunia dari Bajawa, yaitu kopi. Kenikmatan kopi Bajawa sudah sangat terkenal sampai ke mancanegara, bahkan pada September 2016 salah satu event nasional yaitu festival kopi diadakan khusus di Bajawa untuk memperingati hari kopi sedunia. Menikmati secangkir kopi Bajawa ditengah hembusan udara dingin dan selimut kabut menjadi hal yang sangat berkesan. Ditambah lagi sebelum pulang salah seorang rekan menghadiahkanku kopi Bajawa, sungguh semakin sempurna perjalananku singgah selama lima hari di kota kecil nan sejuk ini.