SELAMAT DATANG DI BLOG RESMI ADI WAHYU WICAKSONO,BACA,PAHAMI,DAN TEMUKAN MANFAATNYA..

Menelusuri Eksotisme Kampung Adat Bena

Penelusuran salah satu situs peradaban megalitikum di Nusa Tenggara Timur

Wisata Sehari di Pulau Lombok

Menyelami pesona dan keindahan alam yang terpendam di"Pulau Seribu Masjid"

Menanti Senja di Tegalwangi

Menjadi saksi tenggelamnya sang mentari di salah satu tempat terbaik di Pulau Dewata.

Petualangan di Beji Guwang

Berpetualang memang selalu menjadi tantangan, nikmati serunya penelusuran di salah satu objek wisata yang penuh tantangan.

Menembus Dinginnya Kota Bajawa

Kota berhawa sejuk di tengah Pulau Flores ini menyimpan banyak pesona,banyak cerita dan pengalaman menarik yang didapat selama singgah 5 hari di kota ini.

Kamis, 28 September 2017

Sabang, Km 0 Indonesia


Awal September 2017 menjadi awal bulan yang paling menyenangkan..ya kali ini saya mendapat kesempatan untuk menyambangi provinsi di ujung barat Indonesia yaitu Nangroe Aceh Darusallam. Berkunjung ke Aceh nuansa Islam sangat terasa disi. Banyak masjid besar berdiri, terutama di sepanjang jalan dari Bandara Sultan Iskandar Muda sampai ke Kota Banda Aceh, Ibukota Provinsi Aceh.

Catatan saya kali ini tidak akan membahas banyak tentang Banda Aceh, Kopi, ataupun tsunami. Perjalanan yang akan saya ceritakan saat ini adalah pengalaman perjalanan saya mengunjungi Kota Sabang, titik 0 kilometer Indonesia di sisi barat Nusantara. Meskipun hanya menikmati Sabang dalam satu hari, namun banyak hal menarik yang saya dapatkan selama perjalanan.

Saat itu saya dan kawan-kawan berangkat menuju Sabang dari Pelabuhan Ulee Lhuee, sampai disana kami langsung menggantre di loket tiket kapal cepat yang akan membawa rombongan ke Sabang. Pelabuhan Ulee Lhuee marupakan pelabuhan penyeberangan yang ada di Banda Aceh, kalao saya bilang sih pelabuhan ini cukup modern, pelayanannya juga termasuk bagus untuk ukuran penyeberangan ke pulau kecil. Sebagai info tiket kapal cepat yang kami beli seharga Rp.80.000
per orang untuk kelas Ekonomi, dan untuk kelas VIP tiket dihargai Rp.100.000.

Tepat jam 10.00 WIB kami masuk ke kapal dan setelah menunggu sekitar 30 menit mulailah kapal berberak  menuju Pelabuhan Sabang.

Sabtu, 20 Mei 2017

Berburu Tenun Ikat di Ende


Masih di Pulau Flores, tempat dimana gugusan cincin api di sisi timur yang melingkari nusantara berada menyimpan pesona sejarah dan budaya yang tak akan pernah habis untuk dinikmati. Menyambung dari tulisan saya tentang indahnya alam Nagekeo, kali ini saya akan berbagi pengalaman saat singah sehari di Ende. Kenapa saya harus singgah dulu di Ende..? Jawabannya jelas pastinya..karena di Nagekeo tidak ada bandara. Ya..berhubung waktu kepulangan dari Mbay, Nagekeo adalah siang hari dan pesawat yang menuju ke Denpasar baru akan berangkat esok harinya, jadi saya harus bermalam di Ende.

2 jam perjalanan dari Mbay ke Ende sudah dilewati. Kami berangkat jam 11 siang dari Mbay dan sampai di Ende sekitar jam 1 siang. Sampai di  Ende, kebetulan Kami melewati Bangunan Bersejarah, Rumah Bung Karno semasa pengasingan di Ende. Hari itu memang serba kebetulan, Rumah Pengasingan Bung Karno sedang dibuka untuk umum. Untuk kawan-kawan ketahui tempat wisata ini tidak dibuka setiap hari loh..hanya di hari tertentu saja tempat wisata ini dibuka untuk umum. Masuk ke dalam Rumah Pengasingan Bung Karno tidak dipungut biaya, kita hanya disarankan untuk menyisihkan sumbangan sukarela untuk perawatan tempat wisata sejarah ini. Di rumah pengasingan inilah, Bung Karno bersama Istrinya Inggid Ganarsih tinggal selama masa pengasingan di Ende. Beberapa benda bersejarah yang masih terawat bisa kita saksikan, seperti ranjang tempat tidur Bung Karno, meja dan kursi kerja Bung Karno, peralatan makan dan memasak, biola, serta beberapa foto dan lukisan yang masih tersimpan dengan baik. 

Tak lama kami mengunjungi rumah pengasingan Bung Karno, karena cuaca Ende saat itu sangat panas menyengat. Puas menjelajah rumah Bung Karno, Kami beristirahat sejenak di salah satu rumah makan di Ende. Jauh-jauh ke Ende yang kami temukan sepanjang jalan adalah rumah makan khas Minang, jadi yang kami putuskan untuk makan di situ saja daripada menahan lapar terlalu lama.

Nah..sekarang saat yang ditunggu..inti cerita dari judul tulisan saya akan dimulai dari sini. Berburu kain tenun ikat khas Ende yang melegenda, itulah tujuan Kami saat memanfaatkan waktu singgah di Ende. Meskipun dari segi keramaian dan luas kotanya Ende merupakan kota terbesar kedua di NTT, tapi masih kalah ramai dan jauh lebih kecil kotanya dibandingkan dengan Kupang,Ibukota Provinsi NTT. Jadi hanya butuh waktu 10 menit saja untuk sampai ke pusat penjualan kain tenun khas Ende dari rumah makan dimana Kami singgah saat itu.


Saat itu waktu menunjukan pukul 15.00 WITA, cuaca di Ende masih sangat panas, maklum lah kota ini berada persis di pinggir pantai jadi panasnya pun tidak karuan. Dari hotel kami minta diantar oleh sopir untuk berburu kain tenun ikat di Pasar Lama, yang katanya menjadi buah tangan khas Ende. Sampai di pasar susana cukup sepi, sore itu banyak kios di pasar sudah tutup, namun disepanjang sisi jalan masih ada pedagang tenun ikat yang membuka lapakya. Sore itu hanya ada beberapa orang saja yang melihat-lihat sembari menawar harga kain yang akan mereka beli. Area dimana pedagang kain berjualan pun tidak terlalu luas, hanya ada  beberapa kios yang membuka lapaknya, tapi jangan ditanya berapa banyak koleksinya..sangat memanjakan mata dan bikin Kami bingung mau beli kain model yang mana.

Hampir beberapa kios saya kunjungi untuk melihat-lihat sambil bertanya tentang jenis kain dan makna pola ikatan tenun yang menghias kain-kain itu. Ternyata meskipun dinamakan pusat tenun Ende, namun yang dijual disana bukan hanya tenun khas Ende, tai juga ada tenun dari daerah lain di NTT dijual disitu. Berbagai model kain teun se antero NTT bisa kita dapatkan seperti tenun Nagekeo dengan corak khas hitam dan kuning, 

Minggu, 26 Maret 2017

Alor, Serpihan Surga Yang Jatuh Ke Bumi


Alor, pulau di ujung timur gugusan kepulauan Sunda Kecil menawarkan berbagai keotentikan indahnya panorama alam dan kekhasan budaya yang masih terjaga dan bisa kita nikmati hingga saat ini.  Keindahan bentang alam yang ada di pulau ini telah diakui oleh berbagai kalangan yang terkesan dengan eksotisme pulau Alor, bahkan saking indahnya, pulau ini disebut juga sebagai "serpihan surga yang jatuh ke bumi.

Kali ini saya akan berbagi pengalaman ketika di bulan Februari 2017 menyempatkan diri berkunjung ke pulau Alor, Nusa Tenggara Timur. Pulau yang dijuluki "Pulau Seribu Moko" ini bukan hanya dikenal karena keindahan alamnya, terutama diving dan wisata bahari, tapi ada satu hal juga yang sangat menarik yang bisa kita temui di Alor. Sebuah komunitas adat yang masih hidup dengan tradisi warisan leluhur bisa kita temui di Alor, masyarakat adat tersebut adalah masyarakat adat Takpala, yang tinggal di Kampung Adat Takpala, yang berada di kecamatan Alor Tengah Selatan.

Berjarak kurang lebih satu jam perjalanan dari Kalabahi, Ibukota Kabupaten Alor Kampung Adat Takpala menawarkan eksotisme budaya otentik yang menjadi monumen hidup peradaban masa lalu masyarakat Alor. Dari Kalabahi menuju Takpala, kita akan melewati indahnya pesisir pantai di sepanjang perjalanan. Sembari menuju ke Takpala, kusempatkan sejenak ke Pantai Benlelang untuk melepaskan pandangan ke lautan luas.

Sabtu, 25 Maret 2017

Mbay, Kota Bersahaja Yang Mempesona

Hamparan Perbukitan, Mbay, Nagekeo

Mbay, kota bersahaja di antara belahan bukit nan hijau di sisi tengah Pulau Flores. Mungkin banyak orang masih sangat asing dengan nama kota ini. Kota kecil yang merupakan ibukota Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur ini menyimpan  keindahan alam yang sangat khas. Hamparan hijaunya bukit nan menjulang di sisi barat dan timur kota ini menjadi pertanda kemurahan Tuhan yang diberikan kepada masyarakat Nageko.

Perlu 2 jam perjalanan dari Kota Ende untuk mencapai Mbay. Perjalanan dari Ende menuju Mbay mungkin menjadi perjalanan darat paling menarik yang pernah saya alami. Bermula dari Bandar Udara H.Hasan Aroeboesman, Ende, salah satu bandara dengan pendaratan cukup ekstrem yang di Indonesia, kami mendarat setelah menjalani penerbangan 1 jam 20 menit dari Bandara  I Gusti Ngurah Rai Denpasar. Tak perlu waktu lama untuk mengambil bagasi karena memang penumpang yang turun di Bandara ini tidak banyak jumlahnya. 

Pesisir pantai, Jl.Trans Flores Ende-Negekeo
Di depan pintu kedatangan Bandara, rekan dari Nagekeo sudah siap untuk mengantarakan Saya dan kawan-kawan ke Mbay, ibukota Nagekeo. Dalam perjalanan menuju Mbay mobil yang kami tumpangi melaju di pesisir pantai selatan di Kabupaten Ende. Pemandangan sekeliling sungguh indah, hamparan pantai yang terhampar luas dan lepas disisi selatan dan hamparan perbukitan nan hijau di sisi utara menemani perjalanan rombongan Kami hingga ujung jalan perbatasan Ende-Nagekeo. Perjalanan 2 jam cukup melelahkan dan mendebarkan. Jalanan naik turun dengan kelokan yang curam menjadi tantangan bagi pengendara mobil yang melintasi jalan trans flores ini. Untungnya para sopir di sini sudah sangat berpengalaman mengemudikan mobil di medan yang ekstrem.


Sampai di Mbay, aku sangat takjub dengan hamparan perbukitan nan hijau yang mengelilingi kota ini. Salah satu titik pemandangan terindah ada di sepanjang bukit yang terletak membelakangi Kantor Bupati Nagekeo. Bukit itu kelihatanya tidak terlalu tinggi untuk didaki, tapi keinginan ku untuk mendaki bukit tersebut belum kesampaian, ya..karena aku datang ke sini untuk melaksanakan tugas dari instansi dimana aku berkarir, bukan menghabiskan waktu untuk berwisata.



Sup Domba khas Nagekeo
Penginapan "Santalum" paling representatif
Selama empat hari "berdiam"sementara di Mbay, banyak hal unik dan menarik aku dapatkan disini. Empat hari berada di Mbay waktu istirahat malam habiskan dengan menikmati kesunyian di penginapan yang sederhana, tapi itu merupakan tempat menginap paling representatif di kota ini. Aku sempatkan pula untuk menikmati gurihnya sate dan sup daging domba khas Nageko. Menurut Bapak yang mengajakku makan, domba di Nagekeo sangat berbeda dari yang lain. Katanya daging domba Nagekeo sangat khas dan lembut, karena domba-domba disana masih mengkonsumsi rumput alami langsung dari hamparan padang rumput. Dan setelah aku cicipi memang sangat mantap rasanya, dan baru kali itu saya makan daging kambing dengan dimasak sup khas Nagekeo, yang bagiku terasa sedikit asam dan asin.